Oleh: Romi Satria Wahono
# Benarkah perkembangan software lokal makin populer di Indonesia? Apa bukti dan indikasinya?
Saya mencatat paling tidak ada dua indikasi yang bisa
kita pakai untuk melihat bahwa perkembangan software lokal mulai makin
populer di Indonesia.
1. Laporan Research dari IDC:
-
Jumlah software house atau independent software vendor (ISV) di Indonesia tahun 2006 ini tercatat sekitar 250, dan terus berkembang hingga mencapai 500 di tahun 2010
-
Jumlah pengembang profesional (professional developer) sampai tahun ini tercatat 56.500 dan akan terus berkembang hingga mencapai 71.600 sampai tahun 2008 (total developer dunia mencapai 13,5 juta). Data IDC di bawah menunjukkan jumlah pengembang profesional Reqion Asia Pacific dari tahun 2001-2008, dimana angka dalam ribuan.
2. Perkembangan Komunitas Pengembang (Developer Community) di Indonesia:
-
Lebih dari 200 komunitas, forum dan milis pengembang, baik yang berkumpul karena kesamaan bahasa pemrograman yang digunakan, atau bidang software yang digarap.
-
Penemuan menarik bahwa banyak project-project besar (sistem egovernment, eLearning, dsb) dibantu oleh developer community yang memproduksi software dalam bentuk freeware maupun opensource.
-
Banyak yang sudah mulai berkontribusi untuk project opensource secara terbuka (mendaftarkan diri dan aktif di sf.net)
3. Perkembangan kompetensi software lokal yang makin
menggairahkan baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Kompetisi INAICTA
mencatat bahwa jumlah software dan peserta mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Tercatat juga bahwa banyak startup lokal dari pemenang lomba
INAICTA sukses membawa produk hasil lomba ke ranah bisnis komersial.
# Sebenarnya darimana timbulnya inisiatif dan motivasi untuk menumbuhkan semangat memproduksi software lokal ini?
Laporan IDC mencatat bahwa mulai tahun 2009, sektor
IT di Indonesia akan didominasi oleh IT Services. Pertumbuhan ini akan
memberikan 81.000 lapangan pekerjaan dan menumbuhkan 1100 perusahaan IT
baru yang akan memberikan penghasilan pajak sebesar 1.1 miliar USD dan
berkontribusi sebesar 12 miliar USD terhadap GDP. Dalam periode tersebut
software spending akan naik hingga mencapai 11.4% dari total IT
Spending, khususnya di market vertical. 29.9% dari seluruh pekerja IT di
Indonesia akan terlibat dalam pengembangan, pendistribusian atau
layanan implementasi software.
Kesempatan ini harus dijadikan motivasi untuk
menumbuhkan semangat pengembangan software lokal di Indonesia. Pasar
sudah mulai terlihat, jadi tinggal menunggu strategi kita untuk
bertempur didalamnya
# Di indonesia diprediksi ada sekitar 56.500
pengembang software, tapi malaysia dan singapura yang memiliki jumlah
pengembang software di bawah indonesia mampu memproduksi software lebih
banyak. Mengapa begitu?
Memang yang menjadi indikator utama yang menunjukkan
kemampuan produksi software disuatu negara adalah jumlah perusahaan
pembuat software (software house atau ISV) dan tentu saja jumlah
professional yang bekerja sebagai developer. Kalau kita lihat benar
bahwa malaysia dan singapore memiliki jumlah developer sedikit, tapi
mereka terhimpun dalam ISV yang jumlahnya banyak, mendekati china dan
india. Artinya mereka terkoordinasi untuk menuju pasar dengan lebih
efektif dan efisien. Berbeda dengan Indonesia yang developernya
terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi untuk membidik pasar, karena
hanya kurang dari 250 ISV di Indonesia dan ditambah lagi sebagian besar
developer bekerja secara individualistik atau komunitas yang kadang
kurang profesional membidik pasar.
Kemudian indikator lain yang juga sangat berpengaruh
berhubungan dengan kemampuan memproduksi software selain kuantitas
diatas, juga faktor-faktor lain seperti kualitas developer (menguasai
standard metodologi pengembangan software), kebutuhan pasar, akses
terhadap kapital (software house tidak bankable, susah mencari pinjaman)
dan proteksi terhadap hak kekayaan intelektual. Nah sayangnya kita juga
lemah di ke-empat sektor tersebut.
Alasan diatas yang saya lihat mengapa meskipun jumlah
developer kita besar, tapi kita hanya bisa memproduksi software lebih
sedikit daripada singapore dan malaysia yang secara jumlah developer di
bawah kita.
# Dari sekitar Rp 600 miliar pasar software,
jatah untuk software lokal hanya sekitar Rp 100 miliar. Mengapa hal ini
bisa terjadi atau mengapa software asing bisa lebih menguasai bagian
terbesar dari pasar? Apa saja yang menyebabkan software lokal kurang
mampu bersaing?
Masalah utama dari software house Indonesia sehingga kurang mampu bersaing adalah:
-
Keterbatasan pengetahuan dalam software development. Kurang pengetahuan tentang standard methodology (kebanyakan menggunakan hajar bleh methodology), sehingga begitu sotware diukur dari seluruh proses Software Development Life Cycle (SDLC)nya, kita kedodoran dan kalah bersaing.
-
Kurangnya ide dalam produk dan inovasi. Ini berhubungan juga dengan kurangnya sarana (pipa) penghubung dengan pihak yang membutuhkan software. Kebutuhan mungkin ada, tapi antara yang membutuhkan dan mengembangkan tidak bertemu. Perusahaan asing kebanyakan memiliki expert khusus untuk membaca kebutuhan pasar dan bergerak mencari pasar, serta membuat pipa koneksi bagi pihak yang membutuhkan dan pihak yang mengembangkan.
-
Kurangnya keterlibatan pemerintah untuk melindungi pengembang software lokal. Diperlukan proteksi yang “cantik” dan tidak vulgar terhadap industri software lokal. Kita mungkin perlu mencontoh Jepang, bagaimana kemampuan mereka mendukung software lokal office (Ichitaro) sehingga secara defacto menguasai pasar aplikasi office di sana, juga sistem operasi (OS) lokal bernama TRON yang kemudian banyak digunakan untuk peralatan gadget (HP, PDA) produksi Jepang.
-
Keterbatasan modal usaha. Ini berhubungan dengan perusahaan software rata-rata tidak bankable, banyak yang berumur muda, tidak memiliki aset nyata yang bisa digunakan sebagai agunan pinjaman ke bank. Akhirnya dalam project-project besar, software house kita banyak bertumbangan karena banyak project yang berbasis ke kualifikasi perusahaan.
# Seberapa signifikan pembajakan software menurunkan minat mengembangkan software?
Kita mulai dulu dari data, dalam satu semester,
kerugian vendor pengembang untuk produk massal (MS, Symantec, Borland,
Adobe) karena adanya pembajakan bisa mencapai 2,4 miliar USD. Di
Indonesia sendiri, BSA menyatakan bahwa software yang memproduksi produk
software masal di Indonesia dinyatakan rugi sebesar 3 juta USD atau
setara dengan Rp 28 miliar. Hal itu turut mengakibatkan negara ikut
merugi Rp 2,8 miliar (paling tidak dari pajak dan cukai). Sebagai
catatan bahwa Indonesia saat ini tercatat masuk nomor 3 dalam ranking
negara pembajak dibawah Vietnam dan Kamboja. Prosentasi pembajakan di
Indonesia mencapai 87%. Sebuah studi yang diselenggarakan baru-baru ini
oleh IDC, menemukan bahwa industri teknologi informasi (TI) di Indonesia
bernilai 1 miliar USD dan pengurangan sebesar 10 poin terhadap
prosentase tingkat pembajakan tersebut dapat memacu pertumbukan industri
TI di Indonesia sampai dengan 2,4 miliar USD.
Paling tidak dua hal diatas cukup menurunkan semangat
pengembang software di Indonesia dalam usaha merintis bisnis
pengembangan software.
Yang menarik sebenarnya, ini bisa diatasi dengan
negosiasi gaya Indonesia. Yaitu dengan menggunakan pendekatan secara
langsung terhadap root pembajak software Indonesia untuk mau mendukung
software lokal, dengan menawarkan sharing penjualan yg menarik, tapi
dengan syarat tidak menjual bajakannya. Sudah ada beberapa vendor
software lokal melakukan hal tersebut, dan sepertinya cukup efisien.
UU HAKI 19 Tahun 2002 sudah diundangkan, tapi
pelaksanaan masih belum menggembirakan. Dilema juga terjadi karena
secara ekonomi, masyarakat akan kesulitan membeli software-software
propietary. Kampanye penggunaan software legal perlu tetap diteruskan,
masyarakat sebaiknya diberikan pilihan dan solusi dalam kampanye
penggunaaan software legal tersebut:
- Beli lisensi software apabila ingin menggunakan software propietary
- Selain itu silakan gunakan software opensource maupun freeware
Tidak ada komentar:
Posting Komentar